I. Pengertian
Qurban bahasa arabnya adalah الأضحية (al-udhiyah)
diambil dari kata أَضْحَى (adh-ha).
Makna أَضْحَى (adh-ha) adalah permulaan siang setelah terbitnya
matahari dan dhuha yang selama ini sering kita gunakan untuk sebuah nama
sholat, yaitu sholat dhuha di saat terbitnya matahari hingga
menjadi putih cemerlang.
Adapun الأضحية (al-udhiyah /
qurban) menurut syariat adalah sesuatu yang disembelih dari binatang ternak
yang berupa unta, sapi dan kambing untuk mendekatkan diri kepada Allah yang
disembelih pada hari raya Idul Adha dan Hari Tasyrik. Hari Tasyrik adalah
hari ke 11, 12, dan 13 Dzulhijah.
كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ (رواه
الدارقطنى و البيهقى(
“Semua hari-hari Tasyriq adalah (waktu)
menyembelih qurban” (HR. Ad-Daruquthni dan Al Baihaqi didalam As-Sunanul
Kubro)
II. Hukum Qurban
Hukum menyembelih qurban menurut madzhab
Imam Syafi’i dan jumhur Ulama adalah sunnah yang sangat diharap dan dikukuhkan.
Ibadah Qurban adalah termasuk syiar agama dan yang memupuk makna kasih sayang
dan peduli kepada sesama yang harus digalakkan.
Dan sunnah disini ada 2 macam :
1.
Sunnah ‘Ainiyah, yaitu : Sunnah yang dilakukan oleh setiap orang yang mampu.
2.
Sunnah Kifayah, yaitu : Disunnahkan dilakukan oleh sebuah keluarga
dengan menyembelih 1 ekor atau 2 ekor untuk semua keluarga yang ada di
dalam rumah.
Hukum Qurban menurut Imam Abu Hanifah
adalah wajib bagi yang mampu. Perintah qurban datang pada tahun ke-2
(dua) Hijriyah. Adapun qurban bagi Nabi Muhammad SAW adalah wajib, dan ini
adalah hukum khusus bagi beliau.
Kapan qurban menjadi wajib dalam madzhab
Imam Syafi’i dan jumhur Ulama?
Qurban akan menjadi wajib dengan 2 hal :
1.
Dengan bernadzar, seperti : Seseorang berkata : “Aku wajibkan atasku qurban
tahun ini.” Atau “Aku bernadzar qurban tahun ini.” Maka saat itu
qurban menjadi wajib bagi orang tersebut.
2.
Dengan menentukan, maksudnya : Jika seseorang mempunyai seekor kambing lalu
berkata : “Kambing ini aku pastikan menjadi qurban.” Maka saat itu
qurban dengan kambing tersebut adalah wajib.
Dalam hal ini sangat berbeda dengan ungkapan
seseorang : “Aku mau berqurban dengan kambing ini. “ Maka dengan
ungkapan ini tidak akan menjadi wajib karena dia belum memastikan dan
menentukan. Dan sangat berbeda dengan kalimat yang sebelumnya, yaitu “Aku
jadikan kambing ini kambing qurban.”
Dan mohon diperhatikan hal ini, karena hal ini
sangat penting.
III. Waktu Menyembelih Qurban
Waktu menyemblih qurban itu diperkirakan
dimulai dari : Setelah terbitnya matahari di hari raya qurban dan
setelah selesai 2 roka’at sholat hari raya idul adha ringan dan 2 khutbah
ringan (mulai matahari terbit + 2 rokaat + 2 khutbah), maka tibalah waktu untuk
menyemblih qurban. Bagi yang tidak melakukan sholat hari raya ia
harus memperkirakan dengan perkiraan tersebut atau menunggu
selesainya sholat dan khutbah dari masjid yang ada di daerah
tersebut atau sekitarnya. Dan waktu menyembelih qurban berakhir saat
terbenamnya matahari di hari tasyrik tanggal 13 Dzulhijjah.
Sebaik-baik waktu menyembelih qurban adalah
setelah sholat dan khutbah hari Idul Adha.
عَنِ البَرَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ
تَمَّ نُسُكُهُ، وَأَصَابَ سُنَّةَ المُسْلِمِينَ (رواه البخارى : 5545(
Dari Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“Barangsiapa menyembelih hewan kurban
setelah shalat Idul Adha, maka sembelihannya telah sempurna dan ia sesuai
dengan sunnah kaum muslimin.”
(HR. Bukhari no. 5545)
Catatan penting :
Jika seseorang menyembelih sebelum waktunya, atau
sudah kelewat waktunya, misalnya : menyembelih di malam hari raya raya idul
adha atau menyembelih setelah terbenamnya matahari tanggal 13 hari tasryik maka
semblihan itu tidak menjadi qurban dan menjadi sedekah biasa. Maka
hendaknya bagi panitia qurban untuk memperhatikan masalah ini.
عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ فِي يَوْمِنَا
هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ، ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ
أَصَابَ سُنَّتَنَا، وَمَنْ نَحَرَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ
قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ، لَيْسَ مِنَ النُّسْكِ فِي شَيْءٍ (رواه
البخارى : 965 (
Dari Barra’ bin Malik radhiyallahu ‘anhu
berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Sesungguhnya hal
pertama yang kita mulai pada hari ini adalah kita melaksanakan shalat (Idul Adha),
kemudian kita pulang dan menyembelih. Barangsiapa melakukan hal itu niscaya ia
telah sesuai dengan as-sunnah. Adapun barangsiapa menyembelih hewan sebelum
shalat Idul Adha, maka sembelihannya tersebut adalah daging yang ia berikan
untuk keluarganya, bukan termasuk daging hewan kurban (untuk mendekatkan diri
kepada Allah).” (HR. Bukhari no. 965)
IV. Syarat Orang Yang Berqurban
1.
Seorang muslim / muslimah
2.
Usia baligh
Baligh ada 3 tanda, yaitu :
a.
Keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada usia 9 tahun
hijriah.
b.
Keluar darah haid usia 9 tahun hijriah (bagi anak perempuan)
c.
Jika tidak keluar mani dan tidak haid maka di tunggu hingga umur 15 tahun. Dan
jika sudah genap 15 tahun maka ia telah baligh dengan usia yaitu usia 15 tahun
Dan jika ada anak yang belum baligh maka tidak
diminta untuk melakukan kurban, akan tetapi sunnah bagi walinya untuk berqurban
atas nama anak tersebut.
3.
Berakal , maka orang gila tidak diminta untuk melakukan kurban, akan tetapi
sunnah bagi walinya untuk berqurban atas nama orang gila tersebut.
4.
Mampu
Mampu disini adalah punya kelebihan dari makanan
pokok, pakaian dan tempat tinggal untuk dirinya dan keluarganya di hari raya
Idul Adha dan hari Tasyrik.
Maka bagi siapapun yang memenuhi syarat-syarat
tersebut, sunnah baginya untuk melakukan ibadah qurban.
V. Macam-Macam Binatang Yang Boleh
Dijadikan Qurban
1.
Unta, diperkiraan umurnya 5 – 6 tahun.
2.
Sapi, atau kerbau diperkirakan umurnya2 tahun ke atas.
3.
Kambing / doba dengan bermacam- macam jenisnya, diperkirakan umurnya 1- 2
tahun.
VI. Himbauan Pemilihan Bintang
Qurban
Dihimbau ( tapi tidak wajib) :
-
Gemuk dan Sehat, dengan warna apapun.
VII. Sifat-sifat Binatang yang Tidak
Boleh Dijadikan Qurban
1.
Bermata sebelah / buta
2.
Pincang yang sangat
3.
Yang amat kurus, karena penyakit.
4.
Berpenyakit yang parah
وَعَنِ اَلْبَرَاءِ بنِ عَازِبٍ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ:
- "أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي اَلضَّحَايَا: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ
عَوَرُهَا, وَالْمَرِيضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ
ظَلْعُهَ وَالْكَسِيرَةُ اَلَّتِي لَا تُنْقِي" ( رَوَاهُ اَلْخَمْسَة.
وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّان (
Dari Al Bara' bin 'Azib radhiyallahu 'anhuma, ia
berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdiri di
tengah-tengah kami dan berkata, "Ada empat cacat yang tidak dibolehkan
pada hewan kurban: (1) buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya, (2) sakit dan
tampak jelas sakitnya, (3) pincang dan tampak jelas pincangnya, (4) sangat
kurus sampai-sampai seolah tidak berdaging dan bersum-sum.”
( Dikeluarkan oleh yang lima (empat penulis kitab
sunan ditambah dengan Imam Ahmad). Dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban )
Keterangan :
Boleh berqurban dengan kambing / sapi/ unta
BETINA.
Harap diperhatikan : Banyak masyarakat yang
menganggap bahwa qurban dengan sapi /kambing /unta betina adalah tidak sah.
VIII. Kesunahan Dalam Menyembelih
Qurban
1.
Dalam keadaan bersuci
2.
Menghadap qiblat
3.
Membaca :
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى
الِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ....
“بِسْمِ اللهِ، واللهُ أَكْبَرُ،
اللهُمَّ مِنْكَ، وَلَكَ....
Dan setelah itu berdoa :
اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّى ....
Kalau untuk mewakili nama orang :
اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ (disebut
namanya) ....
4.
Kesunnahan lain saat menyembelih qurban, hendaknya : Mulai awal bulan
Dzulhijah tanggal 1 hingga saat menyembelih qurban agar tidak memotong /
mencabut rambut atau kukunya, seperti yang disabdakan Nabi SAW :
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ
أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ (رواه
مسلم(
“Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah
seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong
sedikitpun dari rambut dan kukunya.” (H.R. Muslim)
5.
Jika bisa, menyembelih sendiri bagi yang mampu.
6.
Mempertajam kembali pisaunya
7.
Mempercepat cara penyembelihan
8.
Membaca Bismillah dan Takbir (seperti yang telah disebutkan) sebelum membaca
doa.
9.
Di depan warga, agar semakin banyak yang mendo’akannya.
10. Untuk
qurban yang sunnah (bukan nadzar) disunnahkan bagi yang nadzar untuk mengambil
bagian dari daging qurban biarpun hanya sedikit.
IX. Cara Membagi Daging Qurban
-
Jika qurban wajib karena nadzar : Maka semua dari daging qurban harus dibagikan
kepada fakir miskin. Dan jika orang yang berqurban atau orang yang wajib
dinafkahinya ikut makan, maka wajib baginya untuk menggantinya sesuai dengan
yang dimakannya.
-
Adapun jika qurban sunnah : Maka tidak disyaratkan sesuatu apapun dalam
pembagiannya, asalkan ada bagian uintuk orang fakir miskin, seberapaun bagian
tersebut. Dan dianjurkan untuk bisa membagi menjadi 3 bagian. 1/3 untuk
keluarga, 1/3 untuk dihidangkan tamu, 1/3 untuk dibagikan kepada fakir miskin.
Dan semakin banyak yang dikeluarkan tentu semakin besar pahalanya.
X. Hukum Menjual Daging Qurban
Hukum menjual daging qurban adalah harom
sebelum dibagikan. Adapun jika daging qurban sudah dibagi dan diterima,
maka bagi si fakir yang menerima daging tersebut boleh menjualnya dan juga boleh
menyimpannya. Begitu juga kulitnya, tidak diperkenankan untuk dijual atau
dijadikan upah bagi yang menyembelih, akan tetapi bagi seorang tukang sembelih
boleh menerima kulit serta daging qurban sebagai bagian haknya akan
tetapi tidak boleh daging dan kulit tersebut dijadikan upah.
XI. Hukum Kurban Itu Sunnah
Bagaimanakah hukum kurban? Apakah wajib ataukah
sunnah? Jumhur atau mayoritas ulama menganggap kurban itu sunnah muakkad. Namun
jangan sampai yang mampu atau punya kelapangan rezeki meninggalkannya.
Ibnu Hajar kembali menyebutkan tentang masalah
hukum kurban pada hadits no. 1357 dari kitab beliau Bulughul Marom. Beliau
membawakan hadits berikut ini,
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – “مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ
يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا” – رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ مَاجَه,
وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, لَكِنْ رَجَّحَ اَلْأَئِمَّةُ غَيْرُهُ وَقْفَه ُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati
tempat shalat kami.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu
Majah. Al Hakim menshahihkannya. Akan tetapi ulama lainnya mengatakan bahwa
hadits ini mauquf, yaitu hanyalah perkataan sahabat.
(HR. Ahmad 14: 24 dan Ibnu Majah no. 3123.
Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Para ulama berdalil dengan hadits ini akan
wajibnya kurban. Alasannya, jika tidak boleh mendekati tempat shalat, maka itu
menunjukkan ada perkara wajib yang ditinggalkan. Yang berpendapat demikian
adalah Abu Hanifah, salah satu pendapat dalam madzhab Imam Malik, pendapat Al
Laitsi, Al Auza’i, salah satu pendapat Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah.
Namun jumhur atau mayoritas ulama yaitu ulama
Syafi’iyah, Hambali, dan Malikiyah berpendapat bahwa hukum kurban itu
sunnah muakkad. Namun bagi yang mampu dilarang
meninggalkannya.
Di antara dalil lain dari mayoritas ulama adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا رَأَيْتُمْ
هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ
شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang
dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong
sedikitpun dari rambut dan kukunya.” (HR. Muslim no. 1977, dari Ummu
Salamah). Yang dimaksud di sini adalah dilarang memotong rambut dan kuku
shohibul qurban itu sendiri.
Sebagaimana dinukil dari Imam Nawawi, Imam
Syafi’i berkata, “Dalil di atas menunjukkan bahwa hukum kurban itu tidak wajib.
Karena dalam hadits digunakan kata “aroda” (siapa yang mau). Seandainya
menyembelih qurban itu wajib, maka cukuplah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan, “Maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari
rambut dan kukunya hingga berkurban.” (Al Majmu’, 8: 217).
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menukil
perkataan Ibnu Hazm bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang menyatakan bahwa
kurban itu wajib. Yang ada, mayoritas ulama menganggap bahwa hukum kurban itu
sunnah. Namun kurban tetaplah disyari’atkan. Dinukil dari Adhwaul Bayan,
5: 617.
Dalam Al Majmu’ (8: 216), Imam Nawawi rahimahullah
berkata, “Menurut madzhab Syafi’i dan madzhab mayoritas ulama, hukum kurban
adalah sunnah muakkad bagi yang mudah (punya kelapangan rezeki) untuk
melakukannya dan itu tidak wajib. Demikianlah pendapat kebanyakan ulama. Yang
berpendapat demikian adalah Abu Bakr Ash Shiddiq, ‘Umar bin Al Khottob, Bilal,
Abu Mas’ud Al Badri, Sa’id bin Al Musayyin, ‘Atho’, ‘Alqomah, Al Aswad, Malik,
Ahmad, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsaur, Al Muzani, Daud dan Ibnul Mundzir.”
Di akhir bahasan tentang hukum kurban, Imam
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Seandainya hukum kurban itu wajib,
tentu tidaklah gugur karena luput, artinya mesti diganti sebagaimana keadaannya
untuk shalat jum’at dan kewajiban lainnya. Namun ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa jika kurban itu luput, maka tidak wajib qodho’. Adapun jawaban untuk
dalil-dalil yang mengatakan wajib, maka bisa jadi dalil tersebut dho’if sehingga
tidak bisa dijadikkan argumen (pendukung). Seandainya shahih, maka hadits
tersebut dibawa ke hukum sunnah karena kompromi berbagai dalil. Wallahu
a’lam.” (Al Majmu’, 8: 217).
Meski Demikian, Tetaplah Berkurban Saat
Mampu
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah
setelah memaparkan perselisihan ulama mengenai hukum kurban,
beliauberkata, “Janganlah meninggalkan ibadah qurban jika seseorang mampu untuk
menunaikannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan,
“Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu dan ambil perkara yang tidak
meragukanmu.” Selayaknya bagi mereka yang mampu agar tidak meninggalkan
berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan
tanggungan. Wallahu a’lam.” (Adhwa’ul Bayan, 5: 618)
XII. Hukum Kurban Beruipa Uang
Mendermakan uang itu lebih simpel
dibanding mendermakan benda lain. Sehingga terkadang ada di antara kita
melaksanakan kurban dengan membagikan uang seharga hewan kurban. Praktek
seperti ini tidak sah sebagai kurban karena kurban adalah suatu bentuk ibadah
yang dikhususkan dengan penyembelihan binatang ternak sebagaimana ditegaskan di
dalam QS. Al-Hajj: 34
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا
مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ
اْلأَنْعَامِ
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang telah dirizkikan oleh Allah kepada mereka …… " (Al-Hajj: 34)
Walaupun tidak sah sebagai kurban, tetapi tidaklah sia-sia dan tidaklah termasuk bid'ah meskipun secara implisit Rasulullah SAW tidak pernah melaksanakan, melegitimasi, dan mengakuinya.
Dalam logika atau nalar fikih uang yang dibagikan dengan niat kurban itu menjadi shadaqah atau sedekah. Adapun keutamaan sedekah mengenai beberapa nashnya sudah cukup jelas. Akan tetapi, betapa sayang bila kurban sebagai ibadah tahunan yang kita laksanakan itu tidak diterima sebagai kurban karena kita melaksanakannya dalam bentuk pembagian uang.
Bertolak dari ayat di atas, ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah menyatakan, bahwa kurban adalah ibadah yang aspeknya adalah iraqah ad-dam (penyembelihan) yang berarti tidak boleh digantikan dengan benda lain termasuk dalam bentuk uang. Ulama' Hanafiyyah yang membolehkan membayar dalam bentuk uang untuk zakat apa pun, ternyata secara tegas tidak membolehkannya untuk kurban.
Dalam hal ini, Muhammad ibn Abi Sahl As-Sarkhasiy (Wafat 490 H.) di dalam Al-Mabsuth; juz II, h.157 menyatakan, bahwa zakat bagi para mustahiq berdimensi kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga bolehlah diberikan berupa harganya. Sedangkan kurban adalah suatu ibadah dalam bentuk penyembelihan. Sehingga seandainya setelah dilakukan penyembelihan dan sebelum dibagikan, ternyata hewan qurban itu hilang atau dicuri orang misalnya, tetaplah ibadah kurban itu sah.
Lebih jauh ia menyatakan, bahwa penyembelihan kurban itu tidak dapat diukur dengan harga, dan mengandung makna atau esensi yang tidak dapat digambarkan kemuliaannya. Adapun penggalan kalimatnya sebagai berikut:
فَكَانَ اْلمُعْتَبَرُ فِي حَقِّهِمْ
أَنَّهُ مَحَلٌّ صَالِحٌ لِكِفَايَتِهِمْ حَتَّى تُتَأَدَّى بِالْقِيْمَةِ
بِخِلَافِ الهِدَايَا وَالضَّحَايَا فَإنَّ الْمُسْتَحِقُ فِيْهَا إرَاقَةَ
الدَّمِ حَتَّى وَلَوْ هَلَكَ بَعْدَ الذَّبْحِ قَبْلَ نَظِيْرٍ بِهِ لَمْ
يَلْزِمهُ شَيْءٌ وَإرَاقَةُ الدَّمِ لَيْسَ بِمُتَقَوِّمٍ وَلَا مَعْقُوْلٍ
الْمَعْنَى
"Adapun apa yang diakui menjadi hak para mustahiq zakat adalah aspek kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga boleh diberikan berupa harganya. Hal ini berbeda dengan hadyu dan kurban yang esensinya adalah aliran darah (penyembelihan), sehingga seandainya setelah hewan kurban itu disembelih binasa sebelum dibagikan, maka tidak ada kewajiban sedikit pun yang dibebankan kepada orang yang kurban. Penyembelihan kurban itu tidak dapat diukur dengan harga, dan tidak dapat dirasionalkan makna kemuliaannya ".
Demikian pula hal yang senada dinyatakan oleh Zain ibn Ibrahim ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Bakr (926-970 H) di dalam Al-Bahr ar-Raiq, jilid II, h.238. Adapun sedikit kutipan kalimatnya sebagai berikut:
قَيَّدَ الْمُصَنِّفُ بِالزَّكَاةِ
لِأَنَّهُ لَا يَجُوْزُ دَفْعُ الْقِيْمَةِ فِيْ الضَّحَايَا وَالْهَدَايَا
وَالْعِتْقِ لِأنَّ مَعْنَى الْقُرْبَةِ إرَاقَةِ الدَّمِ وَذَلِكَ لَا
يَتَقَوَّمُ
Penyusun Kanz ad-Daqaiq membatasi (pembahasan mengenai boleh memberikan berupa harga) dalam kewajiban zakat. Persoalannya, tidak boleh memberikan dalam bentuk harga atas kurban, hadyu dan memerdekakan budak karena esensi kurban adalah aliran darah (penyembelihan) yang tidak dapat diukur dengan harga
Iuran Kurban Dibagikan Uang
Iuran kurban adalah dana yang dikeluarkan oleh beberapa orang untuk kurban, tetapi dana yang terkumpul tidak untuk membeli hewan kurban melainkan dibagikan dalam bentuk uang. Praktek ini sama dengan kurban berupa uang, dan secara jelas tidak sah sebagai kurban karena kurban harus dilaksanakan dalam bentuk penyembelihan hewan ternak, tetapi sah menjadi shadaqah bila para pembayar iuran ikhlas memberikannya.
Jika sebelum pembayaran itu telah dinyatakan untuk pembelian hewan kurban kemudian dibagikan dalam bentuk uang, maka wajib menanggung dan mengembalikan dana iuran itu kepada para pembayarnya karena menyalahi tujuan semestinya.
Apabila cara ini dimaksudkan untuk menggali sumber dana untuk kepentingan pribadi dengan dalih kurban, maka sungguh tidak mendidik, tidak layak dan tidak terpuji untuk dilakukan. Bahkan hal ini dapat dikategorikan sebagai bentuk tipu daya yang menodai kebenaran dan mencederai kejujuran. Hendaklah praktek seperti ini tidak terjadi di tengah masyarakat kita.